Tulisan 1 Softskill Kelompok 2 : Makalah Tentang Hukum Perjanjian Baku


HUKUM PERJANJIAN BAKU

2.1 Saat Lahirnya Perjanjian
Menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antar kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak anatar dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lain meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal-balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain. Dengan demikian, untuk mengetahui apakah telah lahirnya suatu perjanjian dan bila perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan apakah telah tercapai kesepakatan dan bila kesepakatan itu tidak terjadi.
Menurut ajaran yang paling tua, haruslah dipegang teguh tentang adanya suatu persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Apabila kehendak itu berselisih, tak dapatlah lahirnya suatu perjanjian. Yang terpenting bukan lagi kehendak, tetapi apa yang dinyatakan oleh seorang, sebab pernyataan inilah yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk orang lain. Jadi, apabila suatu perselisihan antara apa yang dikehendaki dan apa yang dinyatakan oleh sesuatu pihak, maka pernyataan itulah yang menentukan. Sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian dianggap telah tercapai, apabila pernyataan yang dikeluarkan oleh suatu pihak diterima oleh pihak lain.
Karena suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan, maka perjanjian itu lahir pada detik diterimanya suatu penawaran (offerte). Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termasuk dalam surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya suatu perjanjian. Karena perjanjian sudah lahir maka tak dapat lagi ditarik kembali jika tidak seizin pihak lawan. Saat atau detik lahirnya suatu perjanjian adalah penting untuk diketahui dan ditetapkan, berhubung adakalamnya terjadi suatu perubahan undang-undang atau peraturan, yang mempengaruhi perjanjian tersebut, misalnya pelaksanaannya.
2.2 Standar Kontrak
Istilah hukum perjanjian atau kontrak berasal dari bahasa Inggris, yakni “contract law” yang bermakna perjanjian. Dalam bahasa Belanda kontrak dikenal dengan kata “overeencomsrecht” yang juga bermakna sama dengan kontrak, yaitu perjanjian. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antar dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dengan demikian perjanjian itu menimbulkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Dengan demikian, antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan.
Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi : “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Definisi perjanjian dalam pasal 1313 ini adalah tidak jelas karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian, tidak tampak asas konsensualisme dan bersifat dualism. Tidak jelasnya definisi ini disebabkan dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja. Maka yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian. Dalam Black’s Law Dictionary, yang diartikan sebagai contrac adalah An agreement between two or more person which creates an obligation to do or not to do particular thing. Artinya, kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, dimana menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara sebagian.
2.3 Syarat Sah Perjanjian
Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu :
1.     Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Maksudnya ialah para pihak yang terlibat dalam perjanjian harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut. Pasal 1321 KUH Perdata menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
2.     Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pasal 1329 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, terkecuali ia oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Mengenai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian yaitu :
a.      Orang-orang yang belum dewasa atau anak-anak dibawah umur
b.     Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
Dalam Pasal 330 ayat 1 KUH Perdata menergaskan bahwa “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.” Mereka semua ini, tanpa seizin wakil, yakni orang tua atau wali mereka menurut perundang-undangan, dinyatakan tidak dapat melakukan tindakan hukum terkecuali melalui badan perwakilan.
3.     Mengenai suatu hal tertentu
Sebagaimana disebutkan di dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang dimaksud dengan “suatu hal tertentu” tidak lain adalah apa yang menjadi kewajiban dari debitor dan apa yang menjadi hak kreditor. Pembuat undang-undang bermaksud menjabarkan lebih lanjut keharusan adanya pokok perikatan atau objek perjanjian “tertentu” di dalam ketentuan Pasal 1332-1334 KUH Perdata, yaitu mengenai pokok prestasi (untuk memberikan sesuatu). Pasal 1332 KUH Perdata menentukan bahwa “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan.” Undang-undang menyebutkan bahwa pokok prestasi tidak perlu ditentukan secara individual, cukup jika ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata).
4.     Suatu sebab yang diperkenankan
Ketentuan Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa “Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan (hukum). Dengan kata lain batal demi hukum.” Suatu perjanjian dilakukan dengan kausa yang dilarang jika kausanya bertentangan, baik dengan norma-norma dari hukum yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Berkenaan dengan ini, ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata “Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarah oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Ketentuan Pasal 1336 KUH Perdata tentang suatu sebab yang tidak dinyatakan ataupun berbeda dari apa yang dinyatakan, tetapi tetap merupakan sebab yang halal. Dalam kasus demikian, perjanjian adalah sah.

Syarat  poin 1 dan 2 disebut sebagai syarat subjektif, sedangkan syarat pada poin 3 dan 4 disebut sebagai syarat objektif.
2.4 Macam-Macam Perjanjian
Secara umum perjanjian dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu perjanjian obligatoir dan perjanjian non obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang mengharuskan atau mewajibkan seseorang membayar tau menyerahkan sesuatu. Sedangkan perjanjian non obligatoir adalah perjanjian yang tidak mengharuskan seseorang membayar/menyerahkan sesuatu.
Perjanjian obligatoir terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu :
a.      Perjanjian Sepihak
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang hanya ada kewajiban pada satu pihak, dan hanya ada hak pada pihak lain. Contohnya perjanjian hibah, perjanjian pinjam pakai.
b.     Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian dimana hak dan kewajiban ada pada kedua belah pihak. Jadi pihak yang berkewajiban melakukan suatu prestasi juga berhak menuntut suatu kontra prestasi. Contohnya perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa.
c.      Perjanjian Cuma-Cuma
Perjanjian Cuma-Cuma adalah perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain dengan tidak mendapatkan nikmat daripadanya. Contohnya perjanjian hibah.
d.     Perjanjian Atas Beban
Perjanjian atas beban adalah perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan prestasi. Contohnya jual beli, sewa menyewa.
e.      Perjanjian Konsensuil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang mengikat sejak adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Contohnya perjanjian jual beli dan perjanjian sewa menyewa.
f.      Perjanjian Riil
Perjanjian riil adalah perjanjian yang mengikat jika disertai dengan perbuatan/tindakan nyata. Jadi dengan adanya kata sepakat saja, perjanjian tersebut belum mengikat kedua belah pihak. Contohnya perjanjian penitipan barang, perjanjian pinjam pakai.
g.     Perjanjian Formil
Perjanjian formil adalah perjanjian yang terikat pada bentuk tertentu, jadi bentuknya harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Jika bentuk perjanjian tersebut tidak sesuai dengan ketentuan, maka perjanjian tersebut tidak sah. Contohnya jual beli tanah harus dengan akte PPAT.
h.     Perjanjian Bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang secara khusus diatur dalam undang-undang. Contohnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, penitipan barang.
i.       Perjanjian Tak Bernama
Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur khusus dalam undang-undang.
j.       Perjanjian Campuran
Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur dari berbagai perjanjian. Contohnya perjanjian sewa beli (gabungan sewa menyewa dan jual beli).

Perjanjian non obligatoir terbagi menjadi
a.       Zakelijk Overeenkomst
Zakelijk overeenkomst adalah perjanjian yang menetapkan dipindahkannya suatu hak dari seseorang kepada orang lain. Misalnya balik nama hak atas tanah.
b.       Bevifs Overeenkomst
Bevifs overeenkomst adalah perjanjian untuk membuktikan sesuatu.
c.       Liberatoir Overeenkomst
Liberatoir Overeenkomst adalah perjanjian dimana seseorang membebaskan pihak lain dari suatu kewajiban.
d.       Vaststelling Overeenkomst
Vaststelling overeenkomst adalah perjanjian untuk mengakhiri keraguan mengenai isi dan luas perhubungan hukum diantara para pihak.
2.5 Pembatalan dan Pelaksanaan Perjanjian
a.   Pembatalan Perjanjian
Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh berlakunya syarat batal. Yang dimaksud syarat batal ialah syarat yang apabila dipenuhi akan menghentikan atau mengakhiri perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula seolaholah tidak pernah ada suatu perjanjian. Berlakunya syarat batal ini berkaitan dengan adanya perjanjian bersyarat dengan syarat batal, yaitu perikatan yang berdasarkan pada peristiwa yang masih akan dating dan yang masih belum tentu terjadi secara membatalkan perikatan.
Perjanjian bisa batal karena adanya akibat hukum apabila perjanjian tidak memenuhi persyaratan subyektif, misalnya kesepakatan para pihak tidak sempurna atai para pihak atau salah satu pihak tidak cakap bertingak dalam hukum (karena belum dewasa atau ditaruh dibawah pengampuan). Sedangkan akibat hukum apabila perjanjian tidak memenuhi syarat obyektif, misalnya obyek pernjanjian tidak ditentukan jenis dan ukurannya, atau objek perjanjian merupakan barang-barang diluar perdagangan, adalah perjanjian batal demi hukum. Artinya tanpa dimohonkan pembatalan perjanjian tersebut sudah batal sejak saat diadakan perjanjian. Dengan demikian undangg-undang tidak mengakui telah terjadi perjanjian antara para pihak.

b.   Pelaksanaan Perjanjian
Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Perjanjian dilaksanakan oleh dua pihak atau lebih yang terlebih dulu sudah membuat kesepakatan tentang perjanjian yang akan dibuat. Setelah adanya kesepakatan maka perjanjian akan berlangsung atau dilaksanakan oleh kedua belah pihak dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang sudah disepakati bersama.

DAFTAR PUSTAKA

Komariah, Hukum Perdata, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002
Budiono Herlien, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung: Citra Aditya, 2010
H.S Salim, "Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak", Cet. II, Jakarta: Sinar Grafika, 2004
Subekti, Hukum Perjanjian Cet. 21, Jakarta: Intermasa, 2005

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TULISAN 2 - KASUS 2 TERKAIT HUKUM PERJANJIAN BAKU : KONSUMEN HARUS BERANI MELAWAN KLAUSULA BAKU

Bussines Plan Kue Cubit